Pameran Agung Si Tukang Kira Kira

Di sebuah ruang galeri yang megah namun remang, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal duduk di kursi kayu jati, menatap serangkaian karya seni rupa yang dipajang dengan megah. Kobar, yang rambutnya disisir klimis, sesekali mengangguk-angguk penuh wibawa seolah sudah memahami makna mendalam dari setiap goresan kuas. Badu, dengan wajah penuh tanda tanya, memandang kanvas yang hanya dipenuhi dengan satu garis lurus. Rijal, seniman senior yang dikenal eksentrik, melipat tangan di dada, mengerutkan kening.

Site: https://www.bessogutma.com/

"Apa ini, Kobar? Satu garis hitam di tengah-tengah kanvas putih besar? Namanya apa tadi, Kahar?" tanya Badu.

"Judulnya 'Garis Kehidupan,' Badu," jawab Kahar dengan tenang, seolah dia paham betul konsep karya tersebut.

"Garis Kehidupan, ya?" gumam Badu, sambil menggaruk kepala. "Tapi ini kan cuma satu garis lurus. Itu kehidupan yang bagaimana?"

Kobar langsung menyahut dengan penuh keyakinan, "Ini bukan sekadar garis, Badu. Garis ini mewakili perjalanan hidup yang linear. Ada awal, ada akhir, dan kita semua hanya berjalan di sepanjang garis itu. Sederhana, tapi dalam."

Rijal tertawa terbahak-bahak. "Sederhana, tapi dalam? Kamu pikir hidup cuma satu garis lurus begitu? Kalau kehidupan itu sesederhana ini, kita pasti nggak bakal duduk di sini menghabiskan malam untuk menatap satu garis lurus!" Rijal mengibaskan tangannya, lalu memandang karya itu dengan tatapan penuh ejekan.

Kahar, yang dari tadi diam, tiba-tiba ikut angkat bicara, "Karya ini tidak tentang pemahaman sepele seperti itu. Ini tentang esensi dasar elemen rupa. Garis itu adalah jiwa dari semua bentuk. Tanpa garis, tidak ada bentuk. Semua seni rupa lahir dari garis."

Badu mengerutkan dahi. "Tapi, ini cuma satu garis, Kahar! Kalau mau ngomong elemen rupa, mana bentuk, mana warna, mana ruang?"

Kahar tersenyum, seolah merasa telah memenangkan argumen. "Kamu terlalu terpaku pada hal-hal fisik, Badu. Seni sekarang bukan tentang apa yang kamu lihat, tapi apa yang kamu rasakan. Garis ini adalah metafora dari seluruh elemen rupa yang lain. Satu garis mewakili seluruh dimensi visual."

"Ah, metafora lagi, metafora lagi," gerutu Rijal. "Ini sudah kelewatan. Setiap kali kita nggak ngerti, jawabannya selalu 'metafora.' Ini seni atau ujian filsafat?"

Sementara itu, Kobar yang masih berusaha mempertahankan sikap sebagai 'ahli seni,' menepuk bahu Badu dan berkata, "Kita ini, Bad, nggak boleh ketinggalan zaman. Karya seni sekarang memang harus dinikmati dengan hati, bukan mata. Kita harus merasa terhubung dengan elemen-elemen dasar ini."

Badu masih kebingungan. "Tapi, Kobar, aku nggak merasa terhubung apa-apa. Garisnya itu bikin aku ingat pensilku waktu dulu nggak sengaja aku jatuhkan di atas buku kosong."

Kobar terdiam sejenak, lalu memandang Badu dengan tatapan serius, seolah telah menemukan jawaban yang tercerahkan. "Mungkin itu justru esensinya, Badu. Ketika kita tidak merasa terhubung, itulah pesan yang ingin disampaikan oleh senimannya."

Rijal hampir jatuh dari kursinya karena tertawa. "Jadi kalau aku nggak ngerti, berarti aku justru ngerti? Ini makin absurd saja."

Kahar menatap Rijal dengan sinis. "Itu masalahmu, Rijal. Kamu sudah terlalu tua untuk mengerti seni modern. Kamu terjebak di masa lalu, ketika seni masih tentang bentuk, warna, dan komposisi. Sekarang, seni rupa sudah bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih konseptual."

Rijal berdiri, melihat sekeliling ruangan, lalu memandang ke arah pintu keluar. "Kalau begitu, mungkin aku memang terlalu tua untuk ini. Tapi sebelum aku pergi, biar aku kasih saran. Seni rupa itu, Kahar, bukan cuma tentang kira-kira dan tafsir metafora yang berputar-putar di awang-awang. Kalau kita terus-terusan bikin garis lurus dan bilang itu seni, lama-lama dunia ini akan penuh dengan galeri kosong dan pengunjung bingung."

Dengan tawa kecil, Rijal berjalan keluar galeri, meninggalkan Kobar, Kahar, dan Badu yang masih terdiam.

Di luar, angin malam bertiup, membawa suara Rijal yang samar-samar terdengar, "Mungkin esensi seni rupa yang sebenarnya adalah berhenti berpikir bahwa kita paham segala hal, dan mulai menikmati apa yang memang ada di depan mata."

Badu menoleh ke Kobar dan Kahar, lalu berbisik, "Mungkin Rijal ada benarnya. Aku bakal bikin garis lurus besok pagi, siapa tahu itu 'terhubung' dengan hidupku."

Kobar mengangguk-angguk, tapi dalam hatinya dia mulai mempertanyakan, "Benarkah seni rupa harus serumit ini?"

Di ruangan yang semakin lengang, hanya tersisa sebuah garis lurus, penuh dengan tafsir yang tiada ujung.